PENGERTIAN WAR (PERANG) ADALAH
Titik balik sejarah.
Pengertian war (perang) adalah Benturan kekerasan dari unit sosial yang terorganisir yang nierupakan peperangan dapat dipahami dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Anatol Rapoport (1968, h. 14) mengidentifikasi tiga perspektif: politik, kataklismik (cataclysmic) dan eskatologis. Yang pertama, dicontohkan oleh Clausewitz, dan masih dianut, khususnya di kalangan ahli strategi, menganggap perang sebagai sebuah mode ComcioN, “sebuah tindakan kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa lawan kita memenuhi kehendak kita.” Sebaliknya, dalam perspektif eskatologis, perang itu sendiri (termasuk revolusi dengan kekerasan) menjadi penjabaran dari beberapa desain besar: pelemahan atau penggulingan kapitalisme (menurut Marxis); penciptaan dominasi 1.000 tahun oleh Reich Ketiga (bagi Nazi); atau kebangkitan Jehad, atau Perang Suci Islam, khususnya yang didorong oleh pemimpinan Iran Ayatollah Khomeini setelah 1979, atau pemerintahan Omar Hassan Ahmad al-Bashir di Sudan. Pengikut “desain besar” ini cenderung tidak peduli pada biaya, bahkan sering siap mati dan menjadi bagian dari titik balik sejarah.
Memetakan insiden perang.
Sejak Perang Dunia II, di mana sembilan juta jiwa tewas dalam pertempuran, perang dilihat dalam term kataklismik, yaitu penderitaan masyarakat manusia, yang sama dengan kecelakaan lalu lintas atau wa ah penyakit. Dalam perspektif ini, tuga a adalah memahami sebab-sebabnya dan menghilangkannya, atau setidaknya mereduksinya agar tidak menjadi perang atau menjadi perang besar. Bagi banyak pendukung pandangan ini, modelnya adalah sains, dan dua perintisnya adalah Lewis Fry Richardson (1960a dan 1960b) dan Quincy Wright (1942). Penelitian perang oleh Richardson, yang dipublikasikan dalam bentuk buku sesudah dia meninggal dunia, banyak menggunakan matematika. Salah satu tujuannya adalah memetakan insiden perang secara objektif. Dia tidak melihat adanya basis yang jelas untuk membedakan antara perang dengan perang sipil, pemberontakan, pembangkangan, kerusuhan atau bahkan pembunuhan. Dia menganggap semuanya itu pada dasarnya adalah “pertengkaran yang mematikan,” yang diurutkannya berdasarkan besarnya jumlah kematian yang secara geometris dekat dengan 1, 10, 100, 1.000, 10.000, 1.000.000, atau 10.000.000. Dengan membatasi diri pada besaran 4 dan di atasnya (317 kematian atau lebih) dia mendaftar ada 289 pertengkaran mematikan antara tahun 1820 dan 1949. Wright memandang perang modern sebagai fenomena, mengaitkannya dengan perang egwan, perang antara masyarakat dan perang historis sebagaimana tercantum dalam peradaban sejak masa mengenal tulisan hingga Renaisans. Dia juga menjelaskan fluktuasinya, tingkat kekerapannya dan intensitasnya. Secara keseluruhan, dia menekankan kesenjangan, di tingkat global dan benua, antara efek kemajuan teknologi dengan penyesuaian politik, sosial dan psikologis yang dilakukan manusia. Perang Dunia II yang diikuti dengan konfrontasi Perang Dingin telah menclorong banyak riset yang diilhami oleh filsafat kataklismik. Yang amat menonjol di sini adalah Journal of Conflict Resolution, yang diluncurkan pada 1957. Waltz (1959) mengklasifikasikan semua upaya itu berdasarkan tiga gambaran hubungan internasional, yakni apakah mereka menempatkan akar perang dalam “sifat dan perilaku manusia” (h. 17); “organisasi internal dari negara” (h. 81); atau “karakter anarkis dari sistem negara” (h. 160). Karena setiap negara atau aktor, untuk tujuan analisis, dapat dianggap sebagai “sistem,” maka gambaran ketiga ini dapat diperluas dengan memasukkan semua hal lain yang memengaruhi perang; dan gambaran keempat, gambaran diadik, menjelaskan perang dengan menekankan pada karakteristik dan pola interaksi yang diperlihatkan oleh pihak yang berperang (“dyad”), sebagai pasangan. Penjelasan gambaran pertama cenderung datang dari psikolog, psikiater, etolog atau teolog. Ia dianggap sebagai refleksi dari kebutuhan, atau kecenderungan, individu untuk melakukan AGGRESSION; sebagai manifestasi dari teritorialitas, sebagai konsekuensi dari sikap etnosentris dan persepsi mereka yang terdistorsi (Klineberg, 1957); atau manifestasi dari kepatuhan pada otoritas (Milgram, 1974). Dari kontribusi-kontribusi ini, hanya kontribusi terakhir itulah yang menjelaskan perang secara langsung; tetapi ia tidak menjelaskan tentang keputusan untuk menjalankan perang, atau soal perintah. Penjelasan lainnya didasarkan pada asumsi bahwa populasi yang kurang agresif dan sudah dewasa secara psikologis cenderung tidak menciptakan pemerintah yang condong pada perang, atau setidaknya bisa mengontrol kecenderungan pemerintah untuk berperang, ketimbang masyarakat yang agresif dan belum dewasa. Tetapi kebenaran asumsi ini dipertanyakan. Lebih jauh, seperti ditunjukkan oleh Waltz, pandangan dari penjelasan gambaran pertama di atas tidak mudah untuk diaplikasikan. Upaya membuat populasi negara, atau sebagian darinya, menjadi kurang agresif atau chauvinistik umumnya mernbutuhkan tindakan negara, dan karenanya analisisnya harus masuk ke dunia politik; dia berpendapat bahwa pelucutan persenjataan psikologis sepihak adalah analog dengan PACIFISM dan efeknya bisa berbahaya. Walaupun Walti mengabaikan sejauh mana masyarakat yang pemerintahannya ingin menjadikan mereka tertutup mungkin masih terkena pengaruh internasional, namun ini tidak seluruhnya meruntuhkan validitas keberatannya. Personalitas dari tokoh pemimpin sering dianggap berpengaruh dalam penciptaan perang, seperti Hitler dalam Perang Dunia II; namun tanpa menganalisis kekuatan sosial clan politik yang memberi tokoh itu ruang dan dukungan yang dibutuhkannya untuk mendaimt kekuasaan, akan sulit untuk mencegah munculnya kembali pemimpin yang bermasalah di masa depan. Yang jelas ada hubungan antara perang dan sifat manusia, tetapi ini hanya sebagian dari penjelasan. Pemikir dalam kerangka gambaran kedua berbeda pendapat di antara mereka sendiri dalam soal tipe negara apa yang lebih cenderung berperang. Marxis menghubungkan perang, dan setiap perpecahan dunia, dengan sifat kompetitif dari kapitalisme; perang akan hilang setelah Revolusi sukses. Ketika revolusi Marxis justru menciptakan perpecahan dan terkadang rezim yang saling bertikai di negara yang berbeda, klaim Marxis tersebut menjadi runtuh. Bukti historis mendukung pandangan gambaran kedua yang lain, yakni bahwa negara demokrasi-liberal kurang cenderung untuk berperang dibandingkan kediktatoran negara, setidaknya dalam hubungannya dengan negara lain. Doyle (1983) mencatat bahwa tidak ada kasus perang antara dua negara liberal, meskipun penggunaan kekuatan oleh AS pada tahun 1973, walau secara tak langsung, untuk menggulingkan pemerintahan Marxis Allende yang terpilih secara demokratis dapat dianggap sebagai kasus perang antara negara liberal. Namun dalam hubungannya dengan negara nonliberal, Doyle menyatakan bahwa negara liberal bersikap agresif dan cenderung berperang dan mereka jelas kerap menggunakan kekuatan untuk menciptakan dan mempertahankan kerajaan atau dominasi kuasikolonial, untuk menolak perubahan revolusioner, dan untuk memaksakan kehendaknya pada negara tetangga. MacMillan (1998) menyanggah klaim Doyle. Dia berpendapat (h. 275) bahwa “liberalisme” negara liberal tidak bisa dianggap muncul begitu saja, dan terkadang mereka melanggar “prinsip dasar dan nilai” liberalisme, dan tindakan mereka sering ditentang dari dalam negeri itu sendiri. Kecenderungan perang juga dilihat sebagai konsekuensi dari ciri sistem, pembuatan keputusan negara, dan khususnya yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Pendekatan cybernetik Karl Deutsch adalah contoh bagus dari pandangan ini (lihat INTERNATIONAL RELATIONS). Yang lainnya mengklaim bahwa, dalam kondisi depresi ekonomi atau pertentangan politik domestik, pemerintah perlu mencari musuh eksternal untuk mempertahankan kekuasaannya. Meskipun penelitian statistik tidak banyak yang memperkuat hubungan antara konflik internal dan eksternal ini, Patrick James (1988) telah menunjukkan bahwa jika sebuah negara mengalami peningkatan konflik domestik, dan kemudian menjadi terlibat dalam krisis dengan negara yang lebih lemah, maka ia akan lebih mungkin untuk berperang dengan negara lemah itu. Seperti banyak dipikirkan orang, negara yang mengalokasikan banyak dari sumber dayanya untuk persiapan perang cenderung untuk lebih sering terlibat perang ketimbang negara yang alokasi perangnya tidak melebihi rata-rata. Goertz menemukan bahwa adaIah perlu untuk memilih indikator yang peka-konteks guna mengukur tingkat persiapan negara. Jadi, untuk menjelaskan perubahan sifat perang, dia menggunakan proporsi populasi bersenjata dalam “epos” tahun 1816 dan 1860, dan rasio antara pengeluaran “pertahanan” dan konsumsi energi total, dan/atau produksi baja atau besi. Hasil kajiannya cukup mencerahkan, bukan hanya bagi teori lain, tetapi juga karena kajiannya menunjukkan bahva sebuah konsep tertentu dapat diukur d ngan indikator yang herbeda dalam konteks yang berbeda. Gambaran ketiga, seperti dilihat oleh Waltz, dikonsentrasikan pada fakta anarki intemasional—tiadanya pemerintah dan hukum antarnegara—sebagai penyebab perang. Sebagaimana ditunjukkan oleh Claude (1962), ini adalah pendapat yang terlalu sederhana. Sejarah dewasa ini menunjukkan banyak contoh negara yang punya pemerintahan sentral tetapi tidak merasakan perdamaian di dalam negeri, seperti di Ethiopia atau Lebanon. Tidak adanya pemerintahan bersama antara Kanada dan AS atau antara Norwegia dan Swedia tidak menyebabkan mereka berada dalam ancaman perang terus-menerus. Pengertian war (perang) adalah Penjelasan “gambaran ketiga” lebih rumit, dimaksudkan untuk menjelaskan ciriciri sistem internasional yang memengaruhi insiden perang, sering sebagai bagian dari eksplorasi properti sistem tersebut. Proyek “Correlates of War” dari David Singer di University of Michigan (Ann Arbor) memberikan hipotesis tentang efek ciri-ciri sistem tersebut terhadap perang, tingkat konsentrasi kekuasaan dan sejauh mana negara menjalin aliansi berdasarkan data perang dari tahun 1816 sampai 1965. E. H. Carr (1939 ) menawarkan penjelasan gambaran ketiga lainnya yang masuk akal (meskipun kurang teruji). Dia berpendapat bahwa sistem laissez-faire ekonomi internasional dan multilaterisme 1920-an membantu membiakkan rasa nasionalisme yang haus perang yang akhirnya menimbulkan Perang Dunia II. Kebutuhan penjelasan “gambaran keempat” dikemukakan oleh temuan riset lainnya dari Goertz, yang menunjukkan sejauh mana perseteruan militer, dan perang, berasal dari “pertikaian yang lama.” Negara-negara yang saling berperang satu sama lain selama beberapa kali di masa lalu lebih mungkin untuk berperang lagi. Ada penjelasan konflik diadik yang diringkas dalam karya Rapoport, Fights, Games and Debates (1960). Dalam sebuah “perselisihan,” tindakan A untuk membela dirinya melawan B dianggap oleh B sebagai ancaman, dan vice versa. Richardson menunjukkan bahwa proses ini, berdasar asumsi tertentu, dapat meledak menjadi perseteruan bersenjata, di mana pihak pertama, yang merasa tidak mampu meningkatkan pertahanannya “secara memadai,” kemungkinan akan memilih perang sebelum perbandingan angkatan perangnya jauh lebih menguntungkan lawan. Eskalasi pertikaian ini juga dapat terjadi dalam perselisihan di mana kedua pihak “sudah terlambat untuk berhenti” (lihat Teger, 1980).
Menganalisis perang. Pengertian war (perang) adalah
Menganalisis perang dalam term “permainan” mengimplikasikan bahwa perang dianggap sebagai opsi, dipilih ketika keadaannya menguntungkan. GAME THEORY sering dipakai dalam filsafat perang atau koersi militer, dan teori ini dapat membantu menunjukkan mengapa, dalam situasi tertentu, perang lebih menguntungkan bagi salah satu pihak. “Perdebatan,” yakni situasi di mana pihak-pihak berbeda pendapat tentang tatanan dunia atau tentang apa yang seharusnya dilakukan, dan di mana tidak ada kesepakatan prosedur untuk resolusi atau manajemen konflik, dapat dengan mudah menimbulkan peperangan; selektivitas persepsi cenderung akan diperkuat oleh “keterlibatan membabi buta.” Aspek dari gambaran pertama, kedua, dan ketiga dapat digabungkan dalam rumusan yang dikemukakan oleh Rosen (1970) yang, dalam kerangka teori permainan, mengkarakteristikkan perang sebagai instrumen keputusan; satu pihak yang berhadapan dengan satu pilihan apakah akan berperang atau tidak akan cenderung memilih perang apabila Ct kali p melebihi C, di mana C adalah “toleransi biaya” dari pihak yang terlibat dalam isu, atau dengan kata lain seberapa banyak ia bersiap untuk kalah, sedangkan p adalah bagian yang merepresentasikan apa yang dilihat sebagai peluang kemenangan dalam perang, sedangkan C adalah biaya perang. Jadi untuk pihak yang “rasional,” nilai subjektif dari p akan kompatibel (ditambah 1) dan perkiraan C realistik. Perang akan lebih mungkin terjadi jika isu ini bernilai tinggi bagi kedua belah pihak dan sulit dikompromikan (seperti rezim yang mesti didirikan di negara ketiga yang penting bagi dua pihak yang berseteruj, biaya perangnya relatif ringan, atau hasilnya tidak pasti (kekalahan, jika rasional, bisa terjadi tanpa perang). Pengertian war (perang) adalah Formula Rosen dapat dikaitkan dengan gambaran pertama dan kedua, dengan mengasumsikan bahwa sikap atau mood rakyat, atau struktur politik internal tertentu, mungkin menyebabkan kedua belah pihak terlalu percaya diri (melebih-lebihkan p), menilai tinggi sasaran periferal (biasanya Ct tinggi) atau biaya perang diabaikan, misalnya jika dianggap sebagai pembayaran dividen politik domestik. Apa yang tidak bisa diterangkan dalam model Rosen adalah perang karena aksiden atau kesalahpahaman menginterpretasikan niat lawan. Pengenalan senjata nuklir dan sarana peng_hancur massal lainnya telah menurunkan kemungkinan perang habis-habisan antara negara. Tetapi ini tidak menghilangkan kemungkinan seperti yang dijelaskan dalam model Rosen; dan kini perang, yang dianggap sebagai alat kebijakan yang tidak baik, mengambil bentuk yang lebih halus, seperti perang dengan bantuan gerakan gerilya (1ihat GUERRILLA). Ironisnya, sementara penjelasan perang di awal abad ke-20 sering memandang bahwa biang keroknya adalah kedaulatan negara, kini di era nuklir perang dianggap berasal dari kelemahan negara ketimbang dari kekuatannya.