PRODUKTIVITAS, EFISIENSI DAN PERTUMBUHAN DUNIA USAHA
Dalam jangka panjang, perbaikan standar hidup suatu pemodal, pengusaha, dan pekerja tergantung pada kemampuan mereka untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dan berkesinambungan terutama di industri-industri di mana mereka dapat bersaing baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan dari masingmasing perusahaan dalam mencapai kualitas produk yang lebih baik dan efisiensi yang lebih besar dalam produksi.
Perkembangan produktivitas tergantung baik pada kuantitas dan kualitas input maupun output yang dihasilkan (yang menentukan harga produk yang bersangkutan), pada efisiensi dalam menghasilkan produk tersebut, komplementaritas dengan input lainnya dan segaia pertimbangan teknis ekonomis, seperti skala operasi, elastisitas substitusi, dan kemajuan teknologi. Perkembangan produktivitas memberikan fleksibilitas dunia usaha di segaia aspek kegiatan, baik dari segi masukan, proses produksi maupun luaran. Kegiatan ekonomi yang memiliki produktivitas yang semakin berkembang akan memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap kenaikan harga input dibandingkan dengan kegiatan ekonomi yang tidak mengalami perkembangan produktivitas (Pasay, Putra dan Nazara, 1993). Dengan perkembangan produktivitas yang pesat, suatu negara akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam persaingan, baik dalam bentuk harga maupun kualitas produk yang dihasilkan.
Dibandingkan dengan negaranegara di ASEAN dan NIC, Indonesia memiliki produktivitas tenaga kerja dan upah yang terrendah di antara negara-negara tersebut. Dengan demikian, walaupun Indonesia unggul dalam hal upah tetapi tidak memiliki keunggulan sama sekali dalam produktivitas pekerja. Dalam keadaan seperti ini, maka keunggulan dalam hal upah akan sirna ditelan oleh keunggulan negara lain dalam produktivitas pekerja. Oleh karena itu, Indonesia harus sejak dini mengembangkan produktivitasnya agar tidak tertinggal dari negara lain (Pasay, putra dan Nazara, 1993).
Pengukuran produktivitas di atasmasih mengandung sumbangan berbagai faktor produksi dan kualitas mereka’masing-masing. Sifat output yang sensitif menyeftabkan terjadinya bias produktivitas karena pertambahan output mungkin saja disebabkan oleh faktor produksi lainnya. Ukuran yang lebih baik digunakan adalah produktivitas Total Faktor Produksi (Total Factor Productivity). Dalam konteks pertumbuhan dunia usaha, produktivitas total faktor produksi merupakan sumbangan semua faktor produksi yang tidak dapat dijelaskan oleh faktoY procfuksi itu sendiri sehingga kita tidak bisa menentukan berapa besar dari sisa tersebut yang merupakan sumbangan dari faktor produksi dan dari faktor produksi yang mana; dan karenanya nilai sisa ini sering disebut “the measure of our ignorance”. Nilai sisa atau residu ter-sebut merupakan kemajuan teknologi yang ternyata mempunyai peranan yang besar dalam pertumbuhan ekonomi.
Jika bahagian perkembangan ekonomi usaha yang dapat dijelaskan oleh masing-masing input digunakan untuk mempertahankan keberadaan input, maka nilai sisa ini dapat digunakan untuk memperluas kuantitas input yang sudah ada, meningkatkan kualitas input dan output, peningkatan daya saing, etos kerja, lingkungan kerja, taraf hidup pekerja, pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan (Pasay, Budhiarso dan Widyawati, 1993).
Produktivitas total faktor Indonesia sekitar 17 persen dari PTF Korea Selatan. Ini berarti fleksibilitas Korea Selatan dalam menghadapi gejolak di pasar internasional iebih besar sehingga memungkinkan Korea Selatan lebih mudah melakukan berbagai penyesuaian-penyesuaian. Dibandingkan dengan negara ASEAN, bahkan dengan Filipinapun, Indonesia masih lebih rendah. PTF Indonesia sedikit lebih baik daripada India dan Pakistan. India merupakan contoh kasus di mana di satu sisi kemajuan teknologinya hampir menyamai negara maju, tetapi di pihak lain kemiskinan masih terus melanda. Hal ini menunjukkan kegagalan dalam pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan untuk kemakmuran bangsa. Namun demikian, angka pertumbuhan PTF
Indonesia relatif tinggi sehingga memungkinkan Indonesia untuk mengejar ketinggalan dalam fleksibilitas dengan negara lain.