TEORI FRUSTRASI-AGRESI BARU
Dalam pengembangannya kemudian terjadi beberapa modifikasi terhadap teori Frustrasi-Agresi yang klasik. Salah satu modifikasi adalah dari Burnstein & Worchel (1962) yang membedakan antara frustrasi dan iritasi. Jika suatu hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah, sebal), bukan frustrasi (kecewa, putus asa). Kegagalan mesin minuman dalam contoh di atas adalah frustrasi, karena mestinya mesin itu tidak gagal dan tidak dapat dimengerti mengapa mesin itu rusak. Semua itu membuat Anda agresif. Akan tetapi, kalau sebelum memasukkan uang Anda sudah melihat tulisan “mesin ini rusak”, Anda mengerti mengapa Anda tidak dapat membeli minuman dari mesin itu dan anda tidak menjadi agresif walaupun anda tetap kehausan. Frustrasi lebih memicu agresi daripada iritasi. Selanjutnya, Berkowitz (1978,1989) mengatakan bahwa frustrasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yang memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustrasi dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan frustrasi itu. Philipus marah karena ia beranggapan bahwa anak-anak keluarga Rohadi sesungguhnya dapat bermain di tempat lain, tidak perlu menginjak-injak kebun singkongnya. Anda marah karena ada orang menginjak kaki Anda, padahal tempat di bus masih luas. Anda juga marah karena mesin minuman macet, p adahal sebe tulnya dapat diberi tanda bahwa mesin itu rusak agar orang tidak usah kehilangan uangnya. Akan tetapi, kalau sumber frustasi dinilai tidak mempunyai pilihan lain (terpaksa melakukan hal tersebut), frustrasi itu tidak menimbulkan kemarahan sehingga juga tidak memicu agresi. Jika Philipus beranggapan bahwa anak-anak Rohadi tidak dapat bermain di tempat lain sehingga terpaksa menginjak-injak kebun singkongnya, ia tidak akan marah apalagi bampai membunuh. Demikian pula jika kaki Anda terinjak di bus yang penuh sesak atau mesin minuman mencantumkan tanda “rusak”. Dengan demikian, teori Frustrasiagresi hanya untuk menerangkan agresi dengan emosi benci (hostile aggression), tidak dapat menerangkan gejala agresi instrumental.
Agresi beremosi benci itu pun tidak terjadi begitu saja. Kemarahan memerlukan pancingan (cue) tertentu untuk dapat menjadi perilaku agresi yang nyata (Berkowitz & Le Page, 1967). Sebuah pistol, misalnya, yang ada di dekat seseorang, dapat memancing kemarahan orang itu menjadi perilaku agresi yang sesungguhnya (menembak sumber frustrasi) yang tidak akan terjadi jika pistol itu tidak ada di situ. Menurut penelitian, setengah dari pembunuhan di Amerika Serikat dilakukan dengan senjata api, sementara di Inggris hanya seperempat, karena Amerika Serikat mengizinkan pemilikan senjata api dan Inggris tidak (Berkowitz, 1968,1981,1995). Penelitianlainjuga menunjukkan bahwa pembunuhan dengan senjata api di Vancouver (Kanada) hanya seperlima dari Seatle (Amerika Serikat) walaupun kedua kota itu mempunyai kepadatan penduduk, budaya, dan cuaca yang hampir sama. Alasannya adalah karena adanya larangan pemilikan senjata api di Kanada, sementara di Amerika Serikat diizinkan (Sloan dkk., 1988).
Hal lain yang perlu diketahui tentang hubungan antara frustrasi dan agresi ini adalah bahwa tidak selalu agresi berhenti atau tercegah dengan sendirinya jika hambatan terhadap tujuan sudah teratasi. Seorang istri, misalnya, marah kepada suaminya karena suaminya tidak membelikan baju seperti yang dipakai istri tetangga. Setelah suami membelikan baju, istri tetap saja marah karena ternyata istri tetangga itu dibelikan juga sepatu oleh suaminya. Oleh karena itu, sang istri marah lagi dan agresif lagi untuk minta sepatu. Dengan demikian, frustrasi ternyata lebih disebabkan oleh keadaan subjektif daripada kondisi objektif. Oleh Berkowitz (1972), keadaan subjektif ini disebut deprivasi (kekurangan), yaitu adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga orang yang bersangkutan merasa kekurangan. Karena harapan itu pada umumnya tidak menetap, tetapi meningkat sesuai dengan peningkatan kondisi objektif, ini juga berubah.
Yang tadinya tidak menimbulkan frustrasi pada saat berikutnya dapat menimbulkan frustrasi karena adanya perubahan deprivasi ini. Dalam contoh tentang istri yang frustrasi karena melihat istri tetangga dibelikan sepatu oleh suaminya, deprivasi itu terjadi karena perbandingan dengan orang lain. Akan tetapi, deprivasi dapat juga terjadi karena perbandingan terhadap harapan yang tumbuh di dalam diri orang yang bersangkutan sendiri (Williams, 1975; Wood, 1989). Orang yang tadinya biasa naik bus kota atau jalan kaki tidak frustrasi melihat orang lain naik sepeda motor atau mobil. Akan tetapi, ketika ia sudah dapat membeli sepeda motor, apalagi ketika ia sudah mampu memiliki mobil, ia akan frustrasi sekali kalau harus naik bus” atau jalan kaki. Deprivasi yang memicu frustrasi (karena membandingkan dengan orang lain atau karena membandingkan dengan harapan sendiri) dinamakan deprivasi rela relatif ini harus dibedakan dari deprivasi absolut, yaitu keadaan di mana orang yang bersangkutan memang betul-betul kekurangan dalam suatu hal tertentu (Myers, 1996).
Deprivasi absolut belum tentu menimbulkan frustrasi, sedangkan deprivasi relatif lebih besar kemungkinannya memicu frustrasi. Penelitian terhadap 84 bangsa di negara-ncgara yang sedang berkembang membuktikan bahwa semakin urban (kota) dan semakin melek huruf suatu masyarakat, semakin tinggi kesadarannya akan peningkatan kesejahteraan (semakin melihat berbagai kesempatan, semakin tahu tentang keuntungan-keuntungan materiil dan sebagainya). Dengan demikian, harapan mereka untuk memperoleh kesejahteraan yang makin baik juga semakin tinggi. Akan tetapi, karena peningkatan kesejahteraan yang sesungguhnya hanya dapat meningkat perlahan-lahan, sementara harapan itu sendiri biasanya meningkat dengan pesat, maka relatif (kesenjangan antara harapan dan kenyataan) justru semakin besar (bukan makin kecil) dengan adanya peningkatan kesejahteraan itu. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang tersebut selalu terjadi berbagai gejolak sosial walaupun secara objektif tingkat kesejahteraan rakyatnya sudah meningkat (Feierabend & Feierabend, 1968, 1974).
Sementara itu, penelitian lain juga membuktikan bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu sendiri tidak cukup dapat memicu perilaku agresif jika tidak dibarengi dengan adanya kendala terhadap pencapaian harapan itu (Burton dkk., 1994). Di India, misalnya, orang-orang dari kasta atas yang mengalami depr relatif cenderung tidak mencari kesalahan kepada siapa pun (impunitif) karena mereka mempunyaibanyak kesempatan lain untuk mencapai harapan-harapannya, sedangkan orang-orang dari kasta bawah cenderung mencari kesalahan dan agresif pada pihak lain (extrapunitif) karena mereka hampir-hampir tidak mempunyai alternatif sama sekali untuk memenuhi harapannya walau hanya sedikit (Shukla, Misra & Singh, 1994).
Selanjutnya, deprivasi relatif bisa ditingkatkan oleh media massa, khususnya iklan-iklan melalui televisi. Hennigan dkk. ( 1982) yang mengadakan penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa di 34 kota di mana pemilikan televisi dibatasi oleh undang-undang pada sekitar tahun 1950-1951 angka kejahatan jauh lebih rendah daripada di 34 kota lainnya di mana pemilikan televisi tidak dibatasi. Akan tetapi, di kota-kota yang tadinya ada undang-undang pembatasan pemilikan televisi, angka kejahatannya juga langsung meningkat ketika undangundang itu dicabut dan orang bebas memiliki televisi sejak tahun 1955. Menurut Brickman & Campbell, peningkatan deprivasi relatif terjadi karena gejala yang dinamakannya tingkat adaptasi (adaptation level), yaitu keadaan yang tadinya tidak diharapkan sekarang menjadi diharapkan karena ada pengalamanpengalaman yang mendahuluinya. Hal ini mudah dibuktikan dengan sebuah eksperimen sederhana yang sudah sering dilakukan oleh penulis sendiri dalam rangka pelatihan peningkatan motivasi.
Dalam pelatihan itu, biasanya pemandu meminta 4 orang dari sekitar 20 orang peserta pelatihan untuk menjadi sukarelawan. Keempat sukarelawan itu diminta menunggu di luar, sementara kepada peserta pelatihan yang lain dijelaskan aturan permainannya. Intinya adalah bahwa keempat sukarelawan itu diminta untuk (secepat-cepatnya dengan satu tangan saja memindahkan dari sebuah kotak yang penuh kelereng ke sebuah kotak kosong lain yang terletak di sebelah (jarak sekitar 1 m) kotak yang pertama. Keempat peserta masing-masing diberi waktu 30 detik dan mereka diminta masuk satu per satu. Akan tetapi, dua peserta pertama diberitahu bahwa dalam percobaan sebelum-nya dengan para peserta lain diperoleh hasil rata-rata seorang bisa memindahkan 15 kelereng dalam waktu 30 detik (padahal peserta lain tidak diminta melakukan apa-apa), sementara 2 peserta yang lain diberi tahu bahwa rata-rata peserta sebelumnya dapat memindahkan 35 kelereng. Hasilnya adalah walaupun keempat peserta mencapai hasil yang lebih kurang sama (antara 22-25 butir dalam 30 detik), namun 2 peserta pertama lebih bersemangat dan menyatakan bahwa mereka sanggup mencapai 30 butir dalam percobaan berikutnya, sementara 2 peserta yang terakhir merasa gagal dan tidak berani menetapkan target lebih dari 22 atau 25 kelereng pada percobaan berikutnya. Jelaslah bahwa informasi yang berbeda menimbulkan tingkat harapan yang berbeda dan dengan sendirinya akan mengakibatkan relatif yang berbeda.
Studi lain dilaporkan oleh Brickman, Coates & JanoffBudman (1978). Dalam surveinya mereka mewawancarai sejumlah orang yang menang lotre dan sejumlah orang yang masuk rumah sakit karena kecelakaan. Pada para pemenang lotre ditemukan reaksi awal yang sangat gembira, sangat bersemangat, tetapi secara umum malah terjadi penurunan perasaan sejahtera karena hal-hal yang biasanya dirasakan menyenangkan (makan pagi bersama dengan keluarga, istirahat setelah pulang dari kantor, rekreasi dengan anakanak di akhir pekan, dan sebagainya) tidak lagi dirasakan menyenangkan. Sebaliknya, orang yang masuk rumah sakit karena kecelakaan mengalami penderitaan awal yang sangat besar, tetapi secara umum dalam jangka panjangnya mereka malah merasa lebih sejahtera karena kalau mereka sudah bisa bangun, sudah boleh ke kamar mandi sendiri, bisa makan sendiri, dapat pulang ke rumah dan makan pagi bersama keluarga, dapat kembali, dan dapat rekreasi bersama keluarga tiap akhir pekan, semua ini dirasakan sebagai peningkatan kesejahteraan dibandingkan dengan keadaannya ketika ia masih di rumah sakit. Sekali lagi terbukti bahwa relatif sangat terkait dengan pengalaman sebelumnya. Hal-hal lain yang berpengaruh pada hubungan antara deprivasi relatif dan frustrasi adalah faktor kategorisasi diri (self categorization) dan identitas sosial (social identity) seseorang. Mahasiswa yang menggolongkan dirinya sebagai mahasiswa yang tidak pandai, misalnya, tidak mengalami kalau tidak terpilih sebagai asisten. Sebaliknya, kalau ia merasa pandai dan tidak terpilih menjadi asisten, ia dapat mengalami deprivasi dan frustrasi (Kawakami & Dion, 1995). Demikian pula wanita yang menganggap bahwa takdirnya adalah menjadi selir atau istri kedua dan harus melayani suami, tidak mengalami jika ia benar-benar mengalami hal-hal itu, sementara wanita yang merasa harus punya identitas sosial yang sama atau setara dengan pria akan mengalami depriv kalau dihadapkan dengan keadaan yang mengharuskan dia menjadi selir, istri kedua, dan hanya melayani suami. Khususnya pada wanita, kombinasi antara deprivasi relatif yang dialami sendiri (deprivasi pribadi)
dan yang dialami kelompok (deprivasi kolektif) akan lebih mendorong agresivitas kelompok (Foster & Matheson, 1995), yang pada hakikatnya terjadi juga pada kelompok-kelompok minoritas lain (minoritas rasial, etnik, politik, ekonomi, dan sebagainya) sebagaimana terbukti dalam peneiitian Murty, Roebuck & Armstrong (1994) terhadap pelaku-pelaku kerusuhan di Los Angeles pada tahun 1992 yang ternyata adalah laki-laki berkulit hitam, berusia muda, berpendidikan rendah, dan berpenghasilan rendah. Sebaliknya, pribadi yang dialami oleh masing-masing orang yang tidak disertai oleh kelompok sebagaimana yang terjadi di kalangan imigran di Perth, Australia, tidak menimbulkan identitas sosial yang kuat dan juga tidak mendorong agresivitas terhadap kelompok lain (Petta & Walker, 1992).